Kebatinan
Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli sebelum
adanya pengaruh agama-agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan Kristen). Setelah
masuknya Hindu, Buddha, Islam dan Kristen, maka terjadilah akulturasi
budaya dimana agama asli penduduk bercampur dengan agama baru.
Dalam proses akulturasi itu, terjadi beberapa kemungkinan. Pertama,
unsur-unsur agama baru diterima akan tetapi unsur agama lama tidak
hilang dan bercampur dengan unsur agama baru (contoh: Islam abangan
dimana ia menyebut dirinya Islam, teapi melaksanakan upacara-upacara
selamatan dan tidak berdoa sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua,
unsur-unsur agama baru makin menguat dan mendominasi unsur agama lama
makin menghilang (contoh: agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga,
unsur agama baru bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan
agama baru yang memiliki ciri tersendiri (contoh: agama Hindu Bali
berbedadengan ajaran Hindu di Hindustan). Keempat,
unsur agama lama mengalami revival dan menjadi menonjol meskipun
menggunakan juga unsur-unsur agama baru (contoh: agama Wudu di
Brasilia). Di sini kita akan mempelajari pelbagai aliran kebatinan atau
kepercayaan yang berkembang di Jawa.
B. Aliran Kepercayaan Masyarakat jawa
Jawa
merupakan salah satu pulau diantara lima pulau terbesar di Indonesia.
Jawa adalah pulau terpadat dan merupakan pusat dari pemerintahan
Indonesia. Namu jika ditinjau dari dimensi kultural; jawa merupakan
sebuah suku yang penuh dengan tradisi-tradisi berbau mistik[1].
Selain
kita mengenal aliran-aliran kebatinan, kita juga mengenal apa yang
disebut Kejawen. Cliford Geertz memberi judul disertasinya “Religion of
Jawa” ia menjelaskan Kejawen sebagai ilmu Jawi atau Javanese-ism.
Kejawen adalah segala adat istiadat masyarakat Jawa khususnya Jawa
Tengah yang merupakan warisan leluhur yang tidak termasuk dalam hukum
Islam. Atau tradisi Jawa yang berhubungan dengan keyakinan agama
mengenai ketuhanan, peribadatan atau keimanan di luar Islam (Kamil
Kartapraja, 1985:59). Ada juga yang mendefinisikan kejawen sebagai
sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat
keyakinan akan adanya Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang
menguasai alam serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan
setelah kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan
nenek moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga,
setan-setan, hantu, raksasa dan kekuatan-kekuatan gaib dalam alam
semesta (Koentjaraningrat 1984:319)
Sedangkan
kebatinan Jawa adalah praktek-praktik spiritual didasarkan pada alam
pemikiran Jawa yang terwujud dalam aliran-aliran atau sekte-sekte yang
dipimpin oleh seorang guru yang kemudian memberi ajaran-ajaran tertentu
untuk mencapai kebahagiaan hidup. Beberapa pemikiran yang disampaikan
Niel Mulder tentang kebatinan antara lain: Kebatinan dianggap sebagai
intipati dari Javanisme: gaya hidup orang Jawa yaitu gaya hidup yang
memupuk batinnya agar dapat mencapai suatu hubungan langsung dengan Yang
Maha Kuasa yang disebut dengan faham manunggaling kawula Gusti. Dalam
kebatinan Jawa terdapat banyak aliran yang sangat bervariasi ajarannya.
Tetapi umumnya aliran-aliran kebatinan menganjurkan untuk mengosongkan
batin sehingga dapat diisi dengan kehadiran Yang Maha Kuasa.
Aliran-aliran
kebatinan muncul sekitar tahun 1930. Kita tahu bahwa pada waktu itu
keadaan ekonomi dunia berada dalam situasi yang sangat sulit akibat
depresi ekonomi dunia dan sekitar jaman penjajahan Jepang di tahun
1942-1945, kemudian di saat masyarakat Indonesia mengalami kesulitan
ekonomi di sekitar tahun 1961-1965 dimana presiden Sukarno menjalankan
politik berdikarinya serta tidak mau bekerjasama dengan negara-negara
kolonial hingga harus keluar dari PBB.
Pada
tanggal 19-20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres pertama
yang dihadiri oleh 680 orang mewakili 67 aliran kebatinan yang diketuai
oleh Wongsonegoro SH. dengan tujuan untuk mempersatukan semua
organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya yang diadakan
pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di surakarta sebagai
lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100
organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu
organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (Badan
1956), yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar
mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962 (Pakan
1978:98).
Munculnya
banyak ajaran kebatinan baru yang dicatat oleh Departemen Kehakiman
ialah pada periode 1955 - 1966. Akibat banyaknya aliran-aliran kebatinan
baru sehingga dibentuklah organisasi oleh Kejaksaan Agung yaitu PAKEM
(Pengawas Aliran Kepercauaan Masyarakat) untuk memantau jangan-jangan
aliran-aliran itu adalah tempat persembunyian anggota PKI. Sebenarnya
PAKEM pertama kali didirikan oleh Departemen Agama pada tahun 1954
dengan tujuan untuk mengerem lajunya pertumbuhan aliran kebatinan karena
pada waktu itu sudah terdapat kira-kira 360 aliran kebatinan sebagai
agama baru.
Sebagian
kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih
dari 200 orang namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang
tersebar di berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam
cabang-cabang. dan lima yang besar adalah Hardapusara[2] dari purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD)[3] yang asalnya berkembang di semarang, paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU)[4] dari surakarta, Paguyuban Sumarah[5] dan Sapta Darma[6] dari yogyakarta.
C. Beberapa Upacara / Ritual Khusus Penganut Aliran Kebatinan
Bagi
penganut aliran kebatinan malam 1 Suro dianggap sebagai hari yang
sakral, penuh daya mistik, penuh berkah, dan oleh karenanya
dikeramatkan. Mereka melakukan hal-hal yang berbau kepercayaan dan
keyakinan mereka, mulai dari yang bersifat makin mendekatkan diri kepada
Tuhan Yang Tunggal sampai dengan yang berbau animisme dan dinamisme.
Di
Yogyakarta misalnya, melakukan tirakat Mubeng Beteng (memutari
benteng) Keraton sebanyak tujuh kali, tanpa bicara. Bagi yang memiliki
segala jenis pusaka, keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya akan
mencuci (njamasi) benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan
supranatural itu dengan air kembang setaman. Beberapa perguruan
kebatinan melakukan pendadaran ilmu bagi para muridnya. Ilmu-ilmu itu
ada yang disebut ilmu kasampurnan, ilmu budi luhur, ilmu kejawen, ilmu
kasejaten, dan lain sebagainya. Mereka juga mengadakan upacara/ritual
khusus yang dinamakan Ruwatan (pembersihan). Mereka yang diruwat diyakini terbebas dari sukerta atau kekotoran.
Tirakat
kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan selain nasi putih
saja (Mutih) pada hari senin dan kamis, bulan puasa (Ramadhan),
terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang
hari-hari besar Islam. Mereka juga mempunyai adat untuk hanya makan
sedikit sekali (satu kepal tangan: ngepel) selama satu atau dua hari,
atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng),
bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap
pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni)
Tapabrata
dianggap oleh para penganut Agami Jawi (kejawen) sebagai suatu hal
yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno, konsep tapa dan tapabrata
diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku
Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat,
dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan
disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai
tujuan-tujuan yang sangat penting.
Orang
jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah
disebutkan oleh J. Knebel (1897: 119-120) dalam karangannya mengenai
kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara
menjalankan tapa.[7]
D. Aliran Kebatinan Dalam Hukum Di Indonesia
Dalam
Kongres Gerakan Kebatinan yang pertama di Semarang tahun 1955 dan
kongres kedua tanggal 7 - 10 Agustus 1956 di Solo didefinisikan;
kebatinan sebagai “sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana“. Dalam kongres itu ditegaskan bahwa kebatinan bukan agama baru, melainkan usaha untuk meningkatkan mutu semua agama.
Tahun
1957 Dewan Musyawarah BKKI meminta kepada presiden Sukarno untuk
menyamakan BKKI dengan agama-agama yang lain. Dalam kongres BKKI yang
keempat di Malang pada Juli 1960, Kongres menetapkan bahwa pada dasarnya
Kebatinan dan agama adalah sama, agama menitikberatkan kepada
penyembahan kepada Tuhan, sedangkan kebatinan menekankan pengalaman
batin dan penyempurnaan manusia.
Pada
tanggal 28-29 Januari 1961 diadakan Seminar Kebatinan BKKI II di
Jakarta dan diusulkan agar pengajaran Kebatinan diberikan juga di
sekolah-sekolah. Akan tetapi pada tahun itu juga Menteri Agama
mengemukakan definisi agama dengan maksud menolak aliran kebatinan
sebagai agama dan tidak memberinya tempat sebagai agama di seluruh
Indonesia.
Ditetapkan
oleh Departemen Agama bahwa agar suapaya suatu badan kemasyarakatan
dapat diterima sebagai agama, ia harus memiliki kitab suci, nabi dan
mengakui kekuasaan Tuhan yang Maha Esa serta memiliki sistem hukum bagi
penganutnya.
Antara
tahun 1963-1964 Gerakan Kebatinan semakin meluas dan jumlah aliran
kebatinan telah mencapai 360 aliran tetapi terjadi banyak infiltrasi
golongan komunis ke dalam gerakan kebatinan sehingga BKKI sebagai
federasi tidak mampu menertibkan aliran-aliran kebatinan yang tergabung
di dalamnya dan pertentangan dengan kelompok agama Islam semakin
meruncing dan saling menfitnah di antara keduanya.
Pada
tahun 1973 ketika Sidang MPR kelompok Kebatinan (Kepercayaan)
diberikan kedudukan yang sejajar dengan agama dalam GBHN yang disusun
oleh MPR, tetapi Partai Persatuan Pembangunan sebagai Partai Islam
berusaha agar kata “dan” pada kalimat “Kehidupan keagmaan dan kehidupan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diganti dengan garis miring,
akan tetapi usaha itu gagal.
Dalam
GBHN tahun 1973 Tap. MPR No. IV agama dan kebatinan mempunyai
kedudukan yang sama dan sejak itu kelompok kebatinan mendapat hak untuk
penyiaran di TVRI, Koran dan lain-lain. Sehingga semangat untuk
mendukung perkembangan kebatinan semakin berkembang dalam masyarakat.
Pada
sidang MPR 1978, PPP keberatan jika aliran kebatinan dijadikan agama
dan karena itu dalam sidang MPR itu ditetapkan kebatinan bukan agama
tetapi kebudayaan dan untuk itu dalam Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan diadakan direktorat baru yaitu Direktorat Himpunan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa (HPK) akan tetapi dalam masa
reformasi yang dimulai tahun 1998 melalui ketetapan MPR oleh kekuatan
politik Islam, kelompok aliran kepercayaan kembali dikeluarkan dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan ditempatkan dalam Departemen
Pariwisata, namun keberadaannya sekarang tidak jelas lagi, dalam
keputusan MPR itu dikatakan bahwa aliran-aliran kepercayaan dikembalikan
kepada agama-agama yang ada.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Masalah penyembahan kepada
Tuhan atau agama adalah hak azasi manusia yang secara bebas dapat
memilih agama atau kelompok kepercayaan yang cocok bagi seseorang. Oleh
karena itu, sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia Maka
kelompok kebatinan perlu diberi ruang untuk hidup dan berexistensi di
Indonesia. Kecuali jika dasar hukum di Indonesia dirubah menjadi dasar
hukum agama-agama tertentu (Islam, Kristen dan lain-lain).
Prenduan, 8 Juni 2008
[1] Mistik dapat juga dibedakan dari mitos, karena mitos menurut kamus besar bahasa Indonesia halaman 749 merupakanCerita
suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu mengandung
penafsiran tentang asal usul semesta alam manusia dan bangsa tersebut
mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitos adalah
suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia
pengalaman sehari-hari terus menerus disusupi oleh kekuatan yang
beragam. Menurut Berger dan Luckmann, dikutip oleh Kuntowijoyo dalam
opini Mitos, ideologi dan Ilmu (Bagian I) Republika, 27 Agustus 2001. Namun ada pula beberapa filosof yang memandang mitos sebagai bagian dari mistik.
[2] Hardapusara
adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang terbesar itu, yang
dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra, seorang petani desa
kemanukan dekat purworejo. Ia konon menapatkan ilmu dari menerima
wangsit dan ajaran-ajarannya semula disebut kawruh kasunyatan gaib. Para
pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan
beberapa kota lain di daerah bagelan. organisasi ini dahulu pernah
berkembang dan mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa
Tengah, Jawa timur, dan juga Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah
mencapai beberpa ribu orang. Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah
buku ynag oleh para pngikutnya sudah hampir dianggap keramat, yaitu Buku
Kawula Gusti dan Wigati.
[3] Susila budi (SUBUD)
didirikan pada tahun 1925 di semarang, pusatnya sekarang berada di
jakarta. budaya ini tidak mau disebut budaya kebatinan, melainkan
menamakan dirinya “pusat latihan kejiwaan”. Anggota-anggotanya yang
berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota diseluruh
indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negeri. Banyak dari
para pengikutnya adalah orang asia, eropa, australia dan amerika.
Doktrin ajaran organisasi itu dimuat dalam buku berjudul susila budhi
dharma; kecuali itu gerakanan itu juga menerbitkan majalah berkala
berjudul pewarta kejiwaan subud.
[4] Pagguyuban ngesti tunggal,
atau lebih terkenal dengan nama pangestu adalah sebuah budaya
kebatinan lain yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh
Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh
kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku
sasangka djati.Pangestu didirikan di surakarta pada
bulan mei 1949, dan anggota-anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000
orang tersebar di banyak kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan
priyayi. Namun anggota yang berasal dari daerah pedesaan juga banyak
yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi di sumatera dan
kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu dwijawara merupakan
tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.
[5] Paguyuban sumarah
juga merupakan organisasi besar yang dimulai sabagai suatu gerakan
kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari
Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada kahir tahun
1940an gerakan itu mulai mundur, namun berkembang kembali tahun 1950 di
yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang baik
yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat
lain.
[6] Sapta darma
adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di
jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama bernama Hardjosaputro
yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri Gutomo. Beliau
berasal dari desa keplakan dekat pare. Berbeda dengan keempat organisasi
yang lain, sapta darma beranggotakan orang-orang dari daerah pedesaan
dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di kota-kota. Walaupun
demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang berisi
ajarannya adalah kitab pewarah sapta darma.
0 Response to "ALIRAN KEBATINAN MASYARAKAT JAWA "
Post a Comment